WELCOME TO MY WORLD

every dark light is followed by a light morning

Selasa, 24 November 2015

EKOR KEBEBASAN: DUSTA SEBUAH SISTEM

Bebas? Di alam semesta ini? Mustahil ada. Hal tersebut tidak berniat untuk diciptakan. Kebebasan itu dusta. Suatu hal yang tidak pernah ada, namun dibuat seakan ada. Segala bentuk nyata tentang kebebasan hanya sebuah imaji belaka.
Berbicara mengenai kebebasan, erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan manusia. Tidak ada manusia yang tidak menginginkan kebebasan untuk dirinya. Bahkan manusia rela melakukan banyak hal demi mencapai kebebasan itu. Bagi manusia, kebebasan adalah kebahagiaan itu sendiri. Dilihat dari kemuskilan dalam mendapatkannya, kebebasan tampil dengan nilai jual yang sangat tinggi. Nilai jual tersebut dipakai oleh sistem-sistem dalam dunia sebagai daya tarik untuk mengajak manusia memasuki sistem mereka. Sistem itu pun berhasil menyajikan “kebebasan” yang tidak pernah eksis menjadi eksis di dalamnya. Akan tetapi, suatu keraguan timbul ketika mengetahui bahwa ternyata kebebasan yang diciptakan oleh suatu sistem tersebut terikat oleh aturan-aturan. Kebebasan semacam itu bukan kebebasan yang sesungguhnya. Apabila kebebasan benar adanya, maka seharusnya manusia tidak perlu memiliki sistem. Bebas berarti tiada batasan atau tanpa aturan, sedangkan suatu sistem itu sendiri berisi aturan-aturan.
Hal yang merisaukan adalah ketika manusia mendefinisikan pengertian kata “bebas” itu sendiri. Bebas bukan sekadar merdeka dalam salah satu bagian atau beberapa bagian. Jika bebas memiliki porsi, apakah masih dapat disebut dengan kebebasan. Bukankah porsi itu ditentukan berdasarkan aturan. Kalau demikian halnya, maka bebas bukan lagi bebas. Dalam kehidupan, bebas yang dimaksud adalah bebas yang memiliki ekor, misalnya bebas berbicara asalkan sopan, bebas berperilaku asalkan baik, atau bebas berkendara asalkan tertib. Sebagai ekor, kata “asalkan” merupakan batasan bagi kebebasan tersebut. Suatu hal atau keinginan yang didapatkan dengan syarat tidak dapat dinamakan kebebasan. Jika bebas itu hanya untuk tindakan-tindakan tertentu saja, maka itu bukan lagi bebas. Bebas itu bukan untuk diatur. Bebaslah yang menciptakan aturan dan keinginannya sendiri tanpa terikat oleh aturan di luar dirinya. Bagaimana bisa seseorang membeli kebebasan dari suatu sistem? Yang dikiranya dapat benar-benar bebas, ternyata masih memiliki syarat lain.
Makna “bebas” sangatlah berbeda dari makna “diperbolehkan”. Jika manusia diberikan kebebasan untuk melakuan hal apa pun asalkan tertib, sudah dipastikan bahwa itu dusta. Lain halnya jika manusia diperbolehkan melakukan hal apa pun asalkan tertib. Diperbolehkan merupakan bagian dari sistem, sedangkan kebebasan bukanlah suatu sistem. Ketika seseorang “diperbolehkan” mengambil makanan sesukanya dalam suatu tempat makan, bukan berarti orang tersebut “bebas” mengambil makanan sesukanya. Jika ia benar-benar bebas mengambil makanan apapun yang diinginkan, mengapa ada beberapa menu makanan yang masih dikenakan biaya jika mengambilnya. Dan seharusnya tidak perlu ada biaya awal yang dikeluarkan untuk bebas mengambil makanan-makanan itu. Tidak perlu pula ada waktu yang membatasi sampai kapan diizinkan mengambil makanan tersebut. Hal yang lebih menyedihkan adalah ketika kebebasan dipakai oleh orang yang tidak bermoral.
Suatu hari ada seseorang yang masuk ke rumah makan yang bebas makan apa saja. Ia meraup hampir seluruh bahan makanan yang tersedia. Setelah itu, ia makan secara membabi buta. Orang-orang yang melihatnya menjadi jijik dan mual. Melihat peraturan yang ada, tidak dicantumkan aturan mengenai cara makan bagi para tamu. Setelah membayar, seharusnya bebas memakan apa pun dengan cara apa pun. Namun, orang tersebut tetap mendapat peringatan agar tidak meresahkan tamu lain. Peringatan itu tidak digubris sama sekali oleh orang itu. Dengan rakus, ia tetap fokus pada makanannya. Seharusnya, hal itu bukan masalah karena orang itu sudah membeli kebebasannya. Namun, pada akhirnya orang yang makan secara membabi buta tersebut diusir agar tidak mengganggu para tamu yang lain.
Contoh lain yang paling umum adalah kebebasan dalam hal berbicara. Seseorang yang berbicara kotor atau kasar tidak seharusnya dikecam, dimarahi, dipukuli, atau bahkan sampai dipenjarai. Bukankah sudah jelas bahwa sistem di Indonesia ini telah menerapkan kebebasan berbicara bagi setiap masyarakat. Bagian mana yang disebut bebas jika makan atau pun berbicara masih memiliki batasan-batasan tersendiri. Batasan-batasan yang direpresentasikan dari dua contoh tersebut merupakan hasil dari pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, ekor-ekor dari kebebasan itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
Kemanusiaan berasal dari kata “manusia” dan memiliki arti “sifat-sifat manusia”. Nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri merupakan aplikasi moral atau akhlak baik dari sifat-sifat manusia. Suatu sistem dalam masyarakat membentuk nilai-nilai kemanusiaan untuk menjaga aplikasi kebebasan manusia agar tidak melampaui batasan. Kerapkali, hal yang dibentuk dalam sistem masyarakat itulah yang membuat kebebasan menjadi tidak berlaku. Sisi kemanusian telah membatasi kebebasan itu sendiri. Hal ini menandakan bahwa kebebasan tidak eksis dalam suatu sistem karena sistem memiliki batasan-batasan kemanusiaan. Pada akhirnya kebebasan seseorang baru akan tercipta jika sudah mengikuti aturan umun yang ada. Dengan demikian, suatu sistem telah berhasil membohongi manusia dengan memanipulasi hal yang sebenarnya bukan kebebasan, tetapi tetap disebut sebagai kebebasan.
Dalam pandangan demikian, kebebasan dan kemanusiaan menjadi suatu hal yang kontradiktif. Hal ini wajar terjadi jika memang kemanusiaan dipahami khusus sebagai tolak ukur tindakan baik. Padahal kemanusiaan itu sendiri seharusnya tidak dimaknai secara khusus karena kemanusiaan memiliki makna yang umum. Siapa yang dapat berkata dengan yakin bahwa orang yang telah membunuh sesamanya adalah orang yang tidak memiliki sifat-sifat manusia. Tentu saja pembunuh tersebut tetaplah manusia. Hanya saja perilakunya keji. Namun, mengapa seringkali perbuatan keji yang dilakukan manusia dianggap bukan perbuatan manusia. Memangnya bagaimana seharusnya manusia bertindak. Hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan manusia agar dapat disebut memiliki sifat-sifat manusia. Contoh tersebut membuktikan bahwa jika manusia berbuat salah, maka manusia bukanlah manusia. Lalu, apa memang demikian?
Pada sila kedua dalam Pancasila tertulis, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kemanusiaan tidak ditulis mandiri, melainkan didampingi keterangan sebagai penjelasan di belakangnya. Hal tersebut menyatakan bahwa kemanusiaan dapat menjadi tidak adil dan beradab. Jadi, seharusnya tidak benar jika ada kalimat yang berkata, “Rasa ‘kemanusiaan’ kita senantiasa mencegah kita melakukan tindakan terkutuk itu”. Kalimat tersebut tentu memiliki makna yang tidak jelas karena arti kemanusiaan dapat bermakna positif atau negatif. Bukankah lebih jelas sebagai berikut. “Rasa ‘kemanusiaan kita yang bermoral atau berakhlak baik’ senantiasa mencegah kita melakukan tindakan terkutuk itu”. Dengan demikian, maksud sesungguhnya dari kalimat itu dapat tersampaikan. Hal ini menunjukkan bahwa kata “kemanusiaan” itu sendiri tidak memiliki arti mandiri akan nilai positif atau negatif. Ekor dari kemanusiaan itulah yang akan menjadi penentu ke arah mana sifat-sifat manusia itu bernilai—entah positif atau negatif.
Berbeda halnya jika kemanusiaan itu hanya diartikan dalam perspektif positif. Tentu saja kebebasan dan kemanusiaan akan menjadi dua hal yang kontradiktif. Dengan kata lain, kebebasan merupakan musuh bagi kemanusiaan dalam arti positif, namun sesungguhnya dapat menjadi teman bagi kemanusiaan yang didefinisikan dalam arti positif atau negatif.
Sejak awal manusia diciptakan, manusia memang tidak pernah diberi kebebasan sejati. Manusia telah berada dalam suatu sistem yang harus ditaati dan dipatuhi. Jika manusia diperbolehkan melakukan hal ini dan itu, maka sebenarnya sistemlah yang membentuk hal tersebut. Sistem pulalah yang membuat hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh manusia. Dengan kata lain, bukan lagi keinginan sejati manusia yang bekerja. Hal tersebut wajar karena manusia sedang berada dalam sistem Allah. Jika manusia membuat sistemnya sendiri, dialah yang bebas. Namun, ketika dia berada dalam suatu sistem, mustahil kebebasan itu terwujud. Suatu sistem diciptakan untuk membuat batasan-batasan tersendiri sehingga kebebasan memiliki ekornya. Kebebasan itu tidak cocok dengan sistem. Ia akan memorak-perandakan sistem tersebut. Bebas dan sistem tidak dapat berdampingan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, di mana ada sistem, sudah otomatis nihil kebebasan.
Kebebasan itu dusta. Suatu hal yang tidak pernah ada, namun dibuat seakan ada. Akan tetapi, memang jauh lebih baik kebebasan tetap menjadi dusta daripada menjadi nyata. Andaikan suatu sistem tidak ada, maka alam semesta tidak lagi berkondisi serupa dewasa ini. Mari kembali fokus pada sila kedua dalam Pancasila. Bayangkan andaikata kalimat sila kedua dirangkai menjadi, “Kemanusiaan yang bebas”. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah sila itu disahkan akan terjadi kerusuhan masal dalam masyarakat karena manusia telah bebas melakukan segala sesuatu sesuai keinginannya. Kemanusiaan yang bebas merupakan keadaan terburuk yang jangan sampai berlaku di alam semesta. Tidak dapat dibayangkan kengerian yang akan timbul jika bebas itu sungguh ada. Suatu keadaan ketika tiada lagi aturan dan batasan. Dengan begitu, tiada lagi tempat berlindung bagi yang lemah. Peristiwa tersebut bak kehidupan di rimba dengan bekal siapa kuat, dia yang bertahan. Jika dipikirkan lebih dalam, manusia memang tidak akan mampu menopang kebebasan itu sendiri sebab manusia memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, memang sebaiknya kebebasan disertai ekor dalam penerapannya. Namun, apakah hal tersebut masih pantas disebut dengan kebebasan? Tidakkah tetep berdusta?

***

Sabtu, 03 November 2012

Surat untukmu

Selasa, 13 Februari 2012
Setiap senin kudapat surat itu. Surat darimu, Jati. Di malam selasa bersama surat-suratmu. Sungguh unik dan lucu menurutku.
Setiap kirimanmu, aku terima. Setiap suratmu, aku baca. Aku sadar bahwa kaulah satu-satunya orang yang aku tunggu. Lucunya setiap kau bertemu denganku, tak pernah sedikit pun kau ucapkan kata-kata romantis itu. Kau berbeda dari setiap surat-suratmu. Aku hampir tak yakin setiap surat ini darimu. Awalnya, aku berspekulasi sendiri akan hal ini. Namun, pernyataanmu waktu itu mengejutkanku.
"Itu benar aku," bisikmu mendadak ditelinga sebelah kananku yang membuat urat-uratku mencuat.
Jati, andai kau tahu apa reaksi hatiku saat kau mengatakan itu. Pernyataanmu itu terdengar sahih. Aku hampir tidak dapat berpikir logis. Jantungku bergolak bak terkena eksplosi dan... ah, jangan sampai kau tahu lah. :p
Jati... besok hari kasih sayang. Sebelumnya, selalu kau yang mengirimkan surat-suratmu. Aku hanya pernah membalas satu kali dalam lagu. Sekarang aku juga ingin mengutarakan isi hatiku sekalian membalas surat-suratmu. Namun, hanya satu surat. Surat kedua ini. Surat yang menyiratkan maksud hati ini padamu. Tentu saja bagian tulisanku yang ini tak akan ku kirimkan padamu. Haha...
Aku hanya akan mengirimkan bagian di bawah ini.

Untuk Jati,
Kau membuka jendela cinta
Membalut rasa salurkan cerita
Memberi hangat tanpa kata
Teduh walau taknyata

Sudah segitu saja. Aku malu. Semoga kau mengerti. Hehe...

dari pacarmu, eh salah, sahabat, hmm.. bukan juga.
your valentine, (boleh kan "pe-de" sedikit)
Rana

Kata Hati

Pengumuman dari bibirnya langsung membuatkau kaku. Bagaimana bisa dia secepat itu dengan Argi. Aku lengah. Ya, Tuhan. Ini tidak mungkin terjadi.
"Keyla, pj donk berarti!" celetuk Ringgi, perempuan jangkung di sebelahnya.
"Iya, pokoknya kita nggak mau tau. Lo harus traktir kita ya." seru teman-temannya yang lain.
Aku terkulai lemas. Keylaku...


Malam sunyi dua minggu lalu.
"Aku sekarang dekat dengan Argi."
"Aku tahu."
Keyla menghela napas. "Kau..."
"Bagaimana kalau kita makan?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Kau selalu mengalihkan hal ini. Aku bosan." Tak kuat Keyla menahan air yang menggenang di pelupuk matanya. Aku sadar hal ini sangat muskil untuk diteruskan. Hubungan ini seharusnya mencapai kepastian. Tapi ada apa dengan mulut ini. Aku tak sanggup mengatakannya. Aku memang tahu dia benci dengan keadaan ini. Sama halnya denganku. Tapi aku butuh waktu. Waktu untuk membuat segalanya pasti.
"Maaf," tiba-tiba terucap kata itu.
Keyla yang terisak menatapku tak percaya. "Menurutmu, aku membutuhkan kata itu?" Dia menggeleng-geleng sembari meredakan tangisnya.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?"
Sekilas Keyla menatapku tajam. "Sudahlah Keenan aku letih. Aku masuk duluan." Keyla membalikkan badannya menuju pintu rumahnya. Pada saat itu adalah saat terakhir dia menatapku.

Detik di mana jiwaku mati. Hari di mana tubuhku tenggelam dalam lumpur kekalahan. Atau keterlambatan? Tapi tidak mungkin di hari aku hendak mengutarakannya. Mengapa terjadi justru ketika aku hendak menyatakan perasaanku? Aku tidak mengerti. Oh, Tuhan ini jelas salahku.
Namun, entah kerasukan apa, aku menghampiri Keyla. Kusodorkan tangan kananku padanya. "Selamat, ya."
Dia menoleh padaku. Wajah riangnya seketika berubah. Tapi aku tidak dapat membaca raut apa yang sedang ia tampilkan padaku.
"Terima kasih," katanya tanpa membalas uluran tanganku. Tanpa senyum. Dia membalikkan badan seperti dua minggu lalu. Dan aku kaku seperti dua minggu lalu tidak dapat berbuat apa-apa. Oh, tidak! Kali ini aku harus...
"Keyla!" ujarku memanggilnya.
Dia berhenti. Tapi, tidak menoleh. Aku diam. Keyla kembali melangkah membelakangiku. Bodoh!
"Maaf, tapi aku akan menunggu. Menunggumu..."
Semoga angin mengirimkan suara hatiku itu. Semoga tidak lagi terlambat. Semoga...